Sabtu, 29 Oktober 2016

Ulasan Semeton Pande



                                    
Untuk menelusuri lebih jauh asal usul warga pande dimasa lalau kita berpedoman pada pembuktian archeologi yang menyangkut alat-alat yang dipakai manusia di masa lalu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah zaman batu yang disebut zaman neolithicum berakhir maka selanjutnya timbut zaman logam. Jaman ini dicirikan ditemukannya saat itu suatu bahan dari dalam tanah bijih logam yang diproses sedemikian rupa lalu mengasilkan barang-barang atau alat-alat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Zaman logam dibagi menjadi tiga zaman yaitu zaman tembaga, zaman prunggu, zaman besi.
Pada zaman dahulu kaum pande diangap/digolongkan sebagai masyarakat tersendiri yang memiliki  kemampuan khusus sehinga banyak yang bergelar empu. Zaman dahulu hanya warga pande yang bisa membuat alat/barang dari logam sehinga keberadaan warga pande sezaman dengan mulainya zaman logam. Kapan zaman logam itu ada pada saat itulah ada kaum pande.

      A.    Warga Pande Di Bali
Kedatangan para pande di Bali seiring kedatangan para penguasa yang datang dari seberang/luar pulau Bali. Sejarah menyatakan bahwa pada abad-abad VII-VIII M di Bali dikuasai oleh raja-raja dari dinasti Sanjaya dari kerajaan Mataram (Jawa Tengah). Tetapi jauh sebelum itu pengingalan-peningalan arkeologi membuktikan di pulau Bali dihuni oleh para pande yang hidup dalam masyarakat pada zaman itu (zaman Bali mula).
Pada zaman prasejarah di Bali masyarakat mengeal peti dari batu yang bernama sarkopagus yang digunakan untuk menyimpan mayat orang yang semasa hidupnya yang sangat berpengaruh. Ini membuktikan bahwa alat-alat yang dipakai untuk membuat sarkopagus tersebut adalah buatan para pande yang telah menghuni pulau bali pada zaman prasejarah yaitu pada zaman pra Hindu.
Sekitar awal abad VI Masehi telah datang ke Bali Rsi Markandea penyebar agama Hindu yang membawa sejumalah pekerja. Beliau juga membawa warga pande dari Jawa. Para warga pande yang dibawa oleh Rsi Markandeya kemudian bermukim disekirtar daerah Desa Taro. Sekitar Danau Batur, Danau Tamblingan dan Besakih ( zaman Bali Age). Kemudian pada abad VI Masehi datang lagi ke Bali salah seorang  agama Hindu bernama Sri Agni Jaya Sakti salah seorang pengikut Sang Aji Saka. Beliau beraliran Brahmana dan kedatangannya ke Bali bersama-sama pendeta Siwa dan Budha.
Ajaran agama Hindu yang diajarkan oleh Sri Angi Jaya Sakti mengajarkan agama kepada masyarakat sekitar adalah agama Hindu yang beraliran Brahmana. Ajaran – ajaran beliau antara lain terntang:

a)      Prihal membuat senjata yaitu tombak keris dan mantram-mantramnya
b)      Prihal memilih baik buruknya senjata tombak dam keris yang disebut ”carcaning keris”.
c)      Prihal pakaian perang serta mantram-mantramnya serta tulisan-tulisan yang diangap bertuah.
d)     Prihal siasat perang.
Dari keempat ajaran tersebut diatas yang dibawa Sri Angi Jaya Sakti . ajaran pertama dan ke dua sangat berkaiatan dengan keahlian/propesi pande. Hanya pande yang memiliki mantram dalam pembuatan senjata dan hanya pande yang mengerti dan menghayati carcaning keris. Ajaran ketiga dan keempat sangat terkait dengan ajaran pertama dan kedua dimana dihendaki peningkatan persepsi tentang cara mempermainkan perang sebagai seorang prajurit atau pengatur siasat perang dari seorang pande. Tidak salah cerita orang terdahulu bahwa warga pande selau berada dimuka sebagai pemuka dalam peperangan karena dia tahu siasat menghayati arti pusaka degan segala isinya (pasupatii).`

       B.      Pande Bang

Pada zaman ini para pande yang datangnya bersama Sri Kesari Warmadewa berasal dari Indonesia berdiam berkelompok di empat tempat. Yaitu:
    kelompok pande yang berdiam di daerah Besakih dan sekitarnya.
    kelompok pande yang berdiam disekitar daerah Renon (badung) dan sekitarnya.
    kelompok pande yang mendiami pingiran Danau Tamblingan.
    kelompok pande yang tingal dipejeng.
   Kelompok pande yang inggal di Tabanan
Terpecahnya warga pande yang bermukim  di Danau tamblingan karena pada saat itu Raja Sri Tapolung yang bergelar ”Bhatara Cri Asta Asura Ratna Bumi Banten” menyatakan dirinya tidak lagi tunduk kepada kekuasaan Raja Jawa ( Majapahit ). Sehingga raja majapahit menghukum atas sikapnya, Raja Majapahit Sri Hayam Wuruk mengirim pasukan untuk menyerang Bali. Sasaran utamanya adalah warga Pande yang ada di Danau Tamblingan karena diangap senjata-senjata penguasa Sri Tapolung berada di daerah ini. Penduduk lainnya yang berada dipingiran Danau Tamblingan ikut melahirkan diri dan kebanyakan dari mereka menyembuyikan diri ke hutan sebelah barat danau (daerah Gobleg)
Penguasa Bali kemudian setelah Sri Tapolung yaitu Dalem Semara Kepakisan (Dalem Ketut Ngulesir) yang memerintah Bali dari istananya di Gelgel merasa perlu untuk memanggil kembali para pande yang telah lari meningalkan danau Tamblingan agar kembali ke asalnya.
Demikianlah keadaan dari keempat kelompok pande Bang pada zaman Sri Kesari Warmadewa sampai zaman Pejeng. Keempat kelompok yang mengikuti Sri Kesari Warmadewa tersebut dinamakan pande bang termasuk didalam Pande Bangke Maong, alias Pande Tamblingan. Ada dolemik dalam masyarakat Bali setelah kehancuran kerajaan pejeng tentang nama Pande Bangke Maong. Julukan ini diberikan kepada kelompok pande yang kalah perang bahwa mereka mati nantinya mayatnya akan menjadi maong.
Demikian bencinya para penguasa baru kepada para pande sehinga nama Pande Bangke Maong menjadi momok/menakutkan bagi seluluh keluarga pande dan mereka menghindari dirinya disebut Pande Bangke maong. Penguasa akan membunuh pande yang benar-benar adalah keturunan Pande bangke Maong. Kemudian muncul semacam sanggahan halus dari para pande yang menyatakan bahwa pengucapan Pande Bangke Maong  sebenarnya adalah Pande Bang Kemaong (pande bang saja)

      C.     Babad Pande
Selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam kutipan Bhisama Pande, yang dalam pertemuan itu dibhisamakan oleh Dalem Sri Semara Kepakisan, bahwa apabila para sentana Dalem Tarukan tetap ingin ngamanggehang (menegakkan) pamancangah (prasasti)-nya, sebagai bukti bahwa mereka (para warga pande) mereka merupakan keturunan Dalem Gelgel, mereka harus memohon pengampunan (nunas lugra) ke Pura Besakih. Dalam Babad Dalem Tarukan juga dimuat bhisama Dalem, yang memberi petunjuk kemana mereka harus nunas lugra dan apa sarana penuntun nunas lugra itu.

Warga pande harus menyadari bahwa Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Besakih memang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Pura Besakih. Gelar abhiseka Ida Bhatara di Penataran Pande di Besakih justru diketemukan dalam Raja Purana Pura Besakih dan di dalam babad  Dalem  Tarukan. Dalam Raja Purana Pura Besakih dijelaskan bahwa nama abhiseka Ida Bhatara di Pura Penataran Pande di Besakih adalah Ida Ratu Bagus Pande.

Sebagaimana disebutkan dalam beberapa kutipan Bishama warga pande dijelaskan bahwa :
  • Pemakaian Sira Mpu merupakan penerusan tradisi leluhur yang telah berlangsung sejak jaman sebelum kedatangan Dang Hyang Nirarta ke Bali, jauh sebelum Beliau datang warga Pande telah memiliki sulinggih sendiri yaitu Sira Mpu. Tradisi itulah yang telah diwariskan dari generasi ke genarasi.
  • Dalam Kesulinggihan, warga pande tidak menggunakan Sulinggih lain, karena ada beberapa mantra khusus yang tidak dipakai oleh Sulinggih lainnya, khususnya yang berkaitan dengan Bhisama Panca Bayu.
  • Kajang, warga Pande seperti warga/soroh lainnya di Bali, memiliki aturan tersendiri dalam pembuatan kajang kawitan. Kajang kawitan Pande hanya dipahami secara mendalam oleh Sira Mpu atau pemangku Pura Kawitan sehingga hanya merekalah yang berhak membuat kajang kawitan Pande.
  • UpacaraMediksa, tata cara pediksaan di kalangan warga Pande sangat berbeda dengan tata cara pediksaan dikalangan warga lain, khususnya keturunan Danghyang Nirartha. Perbedaan ini sangat prinsip bagi warga Pande, dimana warga Pande melakukan pediksaan dengan sistem Widhi Krama.
Demikianlah sekiranya disebutkan kisah keturunan dari pesemetonan warga pande di Bali

           D.    Warga Pande Tidak Boleh Memakan Ikan Jeleg?

Sameton Pande pasti sudah banyak yang tau kalau warga Pande tidak dizinkan memakan daging ikan jeleg/deleg (ikan gabus). Tapi apakah setiap keluarga yang melarang keluarganya memakan be jeleg menjelaskan kenapa warih Pande tidak diperkenankan memakan ikan jeleg? Seperti kami sendiri, banyak yang orang tua kami yang sama seperti kami, "Nak keto pabesen lingsir-lingsire pidan, jeg tuutin da bani nglawan, nyanan kena pamastu!," begitulah orangtua sering mengatakan karena ketidak tahuannya dan kami pun mengikutinya. Namun di zaman sekarang, anak muda yang enerjik dan penuh rasa ingin tahu tak cukup diberikan jawaban "nak mula keto", mereka selalu ingin mencari jawaban atas segala pertanyaan di otaknya agar tidak selalu terkukung oleh dogma nak mula keto.
Lalu kenapa Warga Pande tidak boleh makan be jeleg? Sebenarnya larangan ini ada dalam salah satu bhisama Warga Pande yaitu pada larangan Asta Candala. Beginilah ceritanya :
Pada tahun 1556 Masehi, ketika terjadi pembrontakan atas pemerintahan Dalem Bekung yang dilakukan oleh Arya Batan Jeruk ( keturunan arya kepakisan ) sehingga Arya Batan duanggap Angesti Muji Dadia Sang Prabu. (bercita-cita ingin menjadi Raja).
Akhirnya Arya Batan Jeruk tewas setelah di kejar sampai Bonganya, Karangasem. Pembrontakan selanjutnya dilakukan oleh Kyayi Pande Bhasa, yang terlibat pembrontakan ini dalah Keluarga Pande Capung yang didukung keluarga besar. Kerajaan Gelgel terpecah belah terutama keturunan Majapahit. Mereka menegaskan jati diri, karena ada unsur saling curiga. Para Pasek dan Pande mebantu penguasa yang dekat sama mereka.
Ketika pembrontakan dapat di padamkan yang memihak raja tetap tinggal di Gelgel dan yang memihak para pembrontak mengungsi dan menyelamatkan diri. Karena keterlibatan para Pande terutama di Klungkung. Sewaktu-waktu para Pande dapat terbunuh.
Sang Bhagawan sebagai penasehat Raja bercerita kepada Raja bahwa Penyebab Kekacauan yang merajarela adalah Sira Pande, "nak I Pande sane ngaryanin Sanjata nu idup, ipun sane ngranayang wenten perang, yen I Pande ten wenten, sinah ten wenten perang". Menurut Bhagawan Sira Pande yang membuat senjata ke sana ke mari dan meyakinkan raja bahwa Sira Pande menyebabkan hal itu dan menyarankan membunuh semua Pande sampai habis karena jadi biang keladi.
Ida Dalem menerima saran dari sang bhagawan dan memerintahkan membunuh seluruh Warga Pande baik yang kecil, bayi, muda, tua tanpa pri kemanusiaan. Sehingga banyak warga Pande yang kalang kabut dikejar-kejar oleh pasukan kerajaan, bahkan rela nyineb wangsa, menghilangkan nama Pande dan tidak mengaku sebagai warga Pande agar bisa bertahan hidup. I Pande yang tak mau meninggalkan leluhur dan tetap mengaku sebagai  Warga Pande terus berlarian bersembunyi dari orang-orang yang memburu I Pande. Satu per satu mereka ditemukan dan dibunuh.
Tetapi atas perlindungan Ida Ratu Bagus Pande ada seorang warga Pande masih hidup. Warga pande itu dilindungi dan di sembunyikan oleh Jangga Wadita (be jeleg) di bawah air terjun di Sawah Gambangan. Orang yang memburu warga Pande itu berpikir tidak mungkin si Pande bersembunyi di telaga itu. Ikan yang ada di telaga itu tidak beranjak pergi. Jika air terjun ini menjadi persembunyian si Pande sudah pasti ikan Gabus yang mengambang di telaga ini akan pergi dan gelombang air pun tidak ada sama sekali. Dengan mengalami kejadian itu si Pande bersumpah sampai keturunannya tidak akan memakan ikan Gabus. Itulah sedikit sejarahnya kenapa kita dilarang memakan "BE JELEG" atau IKAN GABUS.

E.     Pura Penataran Pande Besakih (Linggih Ida Ratu Bagus Pande) 

 


Bhisama pertama, berupa bhisama agar Warga Pande tidak lupa menyungsung Pura Besakih dan Pura Penataran Pande di Besakih. Bhisama ini dipesankan dengan tegas oleh Mpu Siwa Saguna kepada Brahmana Dwala di Pura Bukit Indrakila sebagai berikut : 
Warga pande harus menyadari bahwa Pura Penataran Ida Ratu Bagus Pande di Besakih memang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Pura Besakih.
Gelar abhiseka sengaja dikemukakan agar warga Pande mengetahuinya, karena dalam babad-babad Pande gelar itu tidak pernah disebutkan. Warga Pande hendaknya mempergunakan gelar itu secara sadar, karena gelar itulah yang benar menurut sumber yang layak dipercaya. Oleh karena itu, gelar abhiseka itu mutlak harus disosialisasikan kepada seluruh warga Pande agar mereka lebih mendalami jati dirinya guna memperkuat tekad ngayah, sebagaimana yang dibhisamakan kepada Brahmana Dwala oleh Mpu Siwa Saguna.

Sumber - Bhisama Warga Pande,
             - Babadbali.blogspot.co.id
             - Pandetamanbali.blogspot.co.id
             - Suryawanhindudharma.wordpress.com

MAKNA KATA ASTUNGKARA, SVAHA DAN TATHASTU

Beberapa tahun belakangan ini kita sebagai orang Bali yang beragama Hindu mungki sering mendengar kata Astungkara, Svaha dan Tathastu. Namun kadang mungkin ada orang yang tidak tahu apa sebenarnya maknasaatkita mengucapkan ke tiga kata tersebut dan kapan kita boleh mengucapkan kata tersebut. Astungkara berasal dari kata Astu dan Kara, yang mendapat sisipan "ng". Astu berarti semoga terjadi dan Kara berarti penyebab, dan kata penyebab dalam hal ini merujuk kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi Astungkara berarti semoga terjadi atas kehendak-Nya.  
Svaha atau Swaha adalah nama dari permaisuri Dewa Agni. Swaha bagaikan sebuah lagu rohani dan juga berarti semoga diberkati. Swaha dalah ucapan umumnya diakhir sebuah mantra. Seperti kata "OM" yang diucapkan diawal mantra. Swaha diucapkan di akhir mantra.
Tathastu berasal dari kata Tat dan Astu.Tat berarti itu, merujuk kepada doa atau permohonan yang diucapkan, sedang Astu berarti semoga terjadi. Jadi Tathastu berarti semoga terjadilah seperti itu.

Jadi kapan kita sebaiknya menggunakan kata Asungkara, Svaha dan Tathastu?

Astungkara diucapkan pada saat kita sedang menyampaikan harapan, keinginan dan doa pribadi kita kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Contoh "Astungkara nanti bisa menjawab soal ujian dengan baik dan benar" atau contoh lain "Astungkara perjalanan saya nanti tanpa menemui hambtan dan selamat sampai tujuan".

Svaha diucapkan di akhir pengucapan sebuah mantra suci, setiap menghaturkan persembahan atau setiap menuangkan persembahan ke dalam api suci. Sering kita mengucapkan kata Svaha ini saat melakukan kramaning sembah. Contoh "Om Namah Shivaya Namah, Svaha.

Tathastu diucapkan untuk ikut mendoakan apa yang yang menjadi harapan dan doa orang lain supaya bisa terwujud sesuai dengan harapan orang tersebut. Sebagai makna ikut mendoakan harapan, biasanya kata Tathastu ini diucapkan oleh orang lain sebagai bentuk dukungan kepada orang yang sedang mengharapkan sesuatu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Contoh "Astungkara tahun depan saya bisa membeli rumah, orang yang diajak bicara atau orang yang mendengar mengucapkan kata Tathastu".

Jadi bisa ditarik kesimpulan kata Asungkara, Svaha dan Tathastu adalah kata suci yang diucapkan untuk sebuah doa yang tulus dan ikhlas, doa yang baik untuk kebaikan dan tidak boleh mungucapkan kata tersebut untuk doa yang bersifat mencelakakan orang lain atau mengharapkan orang lain sengsara. Astungkara  artikel ini bermanfaat bagi para semeton, Svaha.
Sumber - Kalender Bali

Senin, 24 Oktober 2016

Riwayat Perjalanan (Dharna Yatra) Maha Rsi Markandeya dan Kaitan Wangsa Brahmana Bujangga Waisnawa

Om Swastyastu, Om Avighnamastu.Pertama saya memohon bimbingan kepada Hyang Ibu Saraswati, Seluruh Pandita dan Pinandita, semua Umat sedharma. Dengan segala keterbatasan ilmu dan pengalaman saya telah berani menulis tentang Riwayat Perjalanan Maha Yogi Rsi Markandeya, tentunya dari beberapa sumber. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan mengenai Riwayat Perjalanan (Dharma Yatra) Sang Maharsi yang Agung.
Riwayat Perjalanan (Dharma Yatra) Maharsi Markandeya




A.  Silsilah Maha Yogi Rsi Markandeya
Salah satu tonggak peradaban masyarakat dan penyebaran agama Hindu di Bali adalah Maha Yogi Rsi Markandeya. Dari perjalanan Dhrma Yatra beliau juga menjadi sejarah leluhur daripada wangsa Brahmana Bujangga Waisnawa. Pada zaman dahulu kala tersebutlah seorang maharsi yang bernama Rsi Markandeya. Rsi Markandeya adalah seorang Maha Yogi yang sangat utama yang berasal dari keturunan warga Bregu. Bheghawan Bregu adalah keturunan dari Hyang Jagatnatha yang bergelar Sang Hyang Ratnamaya. Beliau adalah putra dari Sang yang Tunggal yang menjaga dan menguasai dunia seluruhnya. Dikisahkan, salah satu keturunan Hyang Jagatnatha bernama Sang Hyang Rsiwu, beliau seorang Mahayogi yang amat bijaksana mempunyai putra bergelar Sang Hyang Meru.
Sang Hyang Meru mempunyai Putra Sang Ayati dan adiknya Sang Niata. Sang Ayati mempunyai putra bernama Sang Prana , dan Sang Niata mempunyai putra bernama Sang Markanda. Sang Markanda memperistri seorang gadis cantik dan sempurna bernama Dewi Manswini. Inilah yang Melahirkan Sang Maharsi Markandeya. Rsi Markandeya sangat tampan da mempunyai banyak ilmu, Lama beliau membujang dan akhirnya memperistri Dewi Dumara. Dan mempunyai putra seorang bergelar Hyang rsi Dewa Sirah. Rsi Dewa sirah memperistri Dewi Wipari. Rsi Markadeya adalah titisan Dewa Surya yang berasal dari Negara Bharatawarsa ( India). Dan Beliau berkeinginan mengembangkan ajaran Yoga beliau menuju daerah selatan India hingga akhirnya sampailah di Nusantara.

B.  Perjalanan Maharsi Markandeya di Nusantara
 Maharsi Markandeya datang kebumi nusantara pada sekitar abad ke 2 M. Beliau bertapa dilereng gunung Dieng, di jawa Tengah. Akan tetapi tiap malam beliau didatangai oleh orang-orang halus. Mereka ada yang berupa jin, setan, hantu dan sebagainya. Konon kabarnya mereka berdiam pada goa-goa, jurang-jurang yang dalam, batu-batu besar atau pohon-pohon yang besar. Semuanya datang mengganggu Sang Markhandeya bertapa. Maka terpaksalah beliau meninggalkan tempat itu dan pergi kearah timur dan akhirnya sampai dilereng gunung Raung. Disitulah Maharsi Markandeya mulai bertapa lagi. Tak berselang lama dalam pertapaannya beliau mendapatkan wahyu berupa suara gaib dan sinar terang berderang yang terlihat di arah Timur.
Terlihatlah sederetan gunung-gunung dari barat ke timur yang berjejer berwarna hijau nan subur. Nun jauh ditimur tampaklah puncak gunung agung yang menjulang tinggi. disebut panjang (Dawa) karena berderet gunung-gunung yang memanjang dari barat ke timur, untuk membuka lahan baru. Mahayogi Markandeya dengan segera mengumumkan kepada para pengikutnya, maka sejumlah kurang lebih 8000 orang bersedia untuk melaksanakan perjalanan dan untuk menetap ke Pulau Dawa atas saran Mahayogi untuk membuka lahan baru. Setelah perlengkapan dan perbekalan dirasakan telah siap maka berangkatlah rombongan Mahayogi Markandeya menuju pulau Dawa, rombongan ini mengalami banyak musibah, binatang-binatang buas macan, ular dan binatang buas lainnya banyak yang menerkam pengikut-pengikut Mahayogi Markandeya saat merabas hutan. Selain itu banyak pula pengikut-pengikut Mahayogi yang terserang wabah penyakit hingga banyak yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Melihat kenyataan ini, Mahayogi sangat sedih dan kecewa, pasti ada sesuatu yang kurang beres dalam misi ini. Akhirnya Mahayogi memutuskan untuk kembali ke Gunung Rawung bersama pengikut-pengikutnya yang masih tersisa. Sesampainya di Gunung Rawung Jawa Timur, Mahayogi Markandeya bertapa kembali untuk memohon petunjuk kepada hyang kuasa. Setelah selesai bertapa beliau kembali memberitahukan kepada pengikut-pengikutnya tentang rencana untuk kembali ke pulau Dawa. Kali ini beliau mengikutsertakan para Yogi lainnya. Untuk keberangkatan yang kedua kalinya, telah terkumpul orang-orang yang sebagian besar dari desa Aga yang berjumlah kurang lebih 400 orang lengkap dengan alat pertanian termasuk sejumlah bibit sarwapala yang dibawa untuk pembukaan lahan baru. Setibanya di pulau Dawa dan sebelum merabas hutan, diadakan upacara yang dipimpin oleh Mahayogi Markandeya beserta para Panditha, Rsi dan para Yogi lainnya. Upacara ini memohon kepada Tuhan dan Ibu Pertiwi agar diperkenankan untuk mengolah lahan yang akan dijadikan pertanian. Tak lupa pula dimohonkan agar wabah penyakit dan binatang-binatang buas tidak menjadi kendala untuk misi ini.
Setelah upacara yang dilakukan oleh Markandeya bersama orang-orang Desa Aga selesai, maka dilanjutkan dengan prosesi penanaman sarana yang disebut Pancadatu (liam jens logam, yaitu: perak, tembaga, emas, besi, dan timah, disertai pula permata mirah). Sebagai simbol kelima unsur elemen agar pengolahan lahan baru ini berjalan lancar. Mahayogi Markandeya memberi nama “Basuki” pada penanaman Pancadatu tersebut, karena Basuki memiliki arti Rahayu atau selamat. Akhirnya saat ini nama Basuki itu dikenal dengan nama Desa Besakih di lereng Gunung Agung. Disaat Mahayogi membagi-bagikan sawah dan ladang kepada para pengikutnya, maka tempat tersebut diberi nama “Desa Puwakan” (puwakan=pembagian).
Di tempat dimana Mahayogi beryoga disebut Desa Payogan, Campuan, Ubud. Selanjutnya di Desa Taro (Taro=Taru, Taru =Kayu, Kayu berarti Kayun, Kayun = keinginan, dalam hal ini berarti memiliki keinginan suci dan berpikiran suci) yang artinya sang Yogi mengajarkan ajaran dan pikiran suci. Selanjutnya orang desa Aga disebut Bali Aga yang berarti orang-orang dari desa Aga yang melakukan wali=kurban suci. Semenjak itu pulau Dawa dikenal dengan nama pulau Wali/Bali. Mahayogi Markandeya pun mengajarkan sistem bertani yang dikenal dengan sistem “subak” dan mengajarkan sistem bermasyarakat yaitu adat Banjar, Pekasehan, dan tugas serta kewajiban masing-masing. di tempat dimana beliau mengajarkan agama, akhirnya dikenal dengan sebutan “Desa Payangan” (Payangan berasal dari kata Parahyangan yang berarti para dewata). Di kemudian hari, dimana tempat tinggal beliau, didirikan pura Taro, di desa Besakih juga didirikan Pura Besakih.
Demikian kisah Mahayogi Markandeya di tahun 158 Masehi yang membawa para pengkutnya dari Gunung Rawung dan desa Aga, Jawa Timur ke pulau Dawa untuk membuka lahan baru hingga pulau ini dikenal dengan nama pulau Bali yang terkenal dengan pura Besakihnya dimana beliau menanamkan pancadatu untuk memulai merabas hutan yang nantinya menjadi lahan pertanian dan perladangan untuk mengisi kehidupan pada pulau ini. Karena pulau ini telah lama kosong semenjak penduduk asli Bali yang hidup di zaman raja Bali yang pernah bertemu dengan Mahayogi cebol yang bernama Wamana, yang mana atas permintaan sang Wamana meminta 3 langkah kaki sebagai wilayahnya, akhirnya raja Bali beserta rakyatnya harus menuju ke alam bawah yang disebut patala. Pada zaman Ramayana, Sugriwa pernah mengirim pasukannya untuk mencari Dewi Sitha hingga ke pulau “Narikel” yang artinya kepulauan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa (Sunda Kelapa = Sumatra, Jawa, Madura, dan Bali). Yang ditemukan hanyalah saksi-saksi bisu di masa raja Bali. Namun berkat kedatangan Mahayogi Markandeya beserta pengikutnya, maka pulau ini hidup kembali dan dikenal dengan nama pulau Bali.


C.  Jejak perjalanan Rsi Markandeya di Tanah Lombok
Setelah memastikan pulau Bali merupakan titik sinar yang beliau lihat pada waktu bersemedi di Gunung Raung Jawa. Maka untuk memastikan suatu saat nanti di masa depan pulau Bali akan tetap menjadi pulau yang suci, maka Ida Maharsi Markandeya berusaha melindungi pulau Bali dengan cara memagari pulau Bali dengan sinar-sinar suci. Proses pemagaran pulau Bali ini terkait dengan penanaman panca datu di beberapa pulau yang mengelilingi pulau Bali. Tujuan dari penanaman panca datu di pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali ini adalah dengan tujuan jikalau suatu saat sinar kesucian pulau Bali mulai meredup akibat pola prilaku sekala-niskala dari penduduk Bali yang mulai tidak sesuai dengan kaidah Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana maka sinar-sinar suci dari pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali inilah yang akan memberikan sokongan energi supaya energi kesucian pulau Bali tetap terjaga.
Singkat cerita, dalam tulisan ini penulis memfokuskan pada perjalanan Ida Maharsi Markandeya ke tanah Lombok dalam rangka menanam panca datu dan dalam rangka menandai titik-titik spiritual di tanah Lombok yang suatu saat akan menjadi sumber energi spiritual yang bukan hanya akan menjaga keseimbangan pulau Lombok dan sekitar akan tetapi juga akan menjadi cadangan energi spiritual untuk pulau Bali jikalau pulau Bali sudah mulai kotor.
Jejak perjalanan Ida Maharsi Markandeya ditanah Lombok diawali lewat Nusa Penida. Setelah menandai titik-titik spiritual di Nusa Penida seperti Puncak Mundi, Puncak Tunjuk Pusuh, Puncak Tinggar, Dalem Ped, Giri Putri, Sekar Taji dll, Ida Maharsi Markandeya melanjutkan perjalanan beliau ke pulau Lombok. Di pulau Lombok ini beliau pertama kali beryoga semadi di puncak Gunung Sari (sekarang menjadi lokasi pura Gunung Sari, Lombok), disini Ida ditemani oleh putun Ida yang bernama Ratu Ayu Manik Tirta Mas.
Kemudian setelah itu beliau beryoga semadi di puncak Baliku (sekarang menjadi lokasi pura Puncak Baliku), disini Ida ditemani oleh istri beliau yang bernama Ida Ratu Niang Sarining Suci. Setelah itu beliau lanjut menandai titik Gunung Pengsong.
Di Gunung Pengsong beliau bertemu dengan seorang wanita cina yang jaman sekarang dikenal dengan Ida Ratu Niang Gunung Pengsong atau ditanah Bali dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Di Gunung Pengsong ini Ida Hyang Maharsi Markandeya melakukan kawin kesaktian dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Jadi selama bertapa di Gunung Pengsong ini Ida Maharsi Markandeya ditemani oleh Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Tempat pertapaan beliau ini yang pada jaman sekarang ini menjadi cikal bakal Pura Puncak Gunung Pengsong. Taksu hasil kawin kesaktian dari Ida Maharsi Markandeya dan Ida Hyang Dewi Anjani di Gunung Pengsong ini merupakan taksu kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Setelah menyelasaikan proses pembangkitan sinar suci di Gunung Pengsong kemudian Ida Maharsi Markandeya ditemani dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani melanjutkan perjalanan ke Puncak Gunung Rinjani. Di Puncak Gunung Rinjani ini Ida Maharsi Markandeya mengumpulkan energi dari semua titik sinar suci di pulau Lombok yang suatu saat jika diperlukan akan dikirim ke pulau Bali untuk menjaga kesucian pulau Bali. Di puncak Gunung Rinjani ini Ida Hyang Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar kesucian yang beliau dapat di pulau Lombok. Akibat dari hasil penunggalan semua sinar suci pulau Lombok ini maka di Puncak Gunung Rinjani, Ida Betara Lingsir Maharsi Markandeya dikenal dengan Ida Hyang Lingsir Maharsi SUKMA JATI. Setelah Ida Maharsi Markandeya merasa cukup membangkitkan titik kesucian pulau Lombok, kemudian beliau berencana melanjutkan perjalanan meninggalkan pulau Lombok menuju Gunung Tambora. Untuk tetap menjaga kesucian pulau Lombok khususnya setelah ditinggalkan oleh beliau maka Tongkat Komando Penguasa pulau Lombok diserahkan kepada Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Karena tugas yang maha berat ini kemudian Ida Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar suci yang telah dikumpulkan selama masa pertapaan Ida dan Hyang Dewi Anjani dari pertapaan di Gunung Pengsong sampai puncak Gunung Rinjani.
Hasil penunggalan /pemurtian sinar suci ini kemudian menyebabkan Ida Hyang Betari Dewi Anjani bergelar IDA HYANG BETARI AMBUN JAGAT. Gelar ini mencerminkan bahwa Ida Hyang Betari Dewi Anjani adalah pengayom dan pelindung jagat Lombok dan sekitarnya. Sehingga sampai saat ini yang diyakini berstana dan merupakan betara lingsir puncak Gunung Rinjani Lombok adalah Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Sepeninggal Ida Maharsi Markandeya, suatu saat ratusan tahun kemudian atas petunjuk spiritual yang diberikan oleh Ida Maharsi Markandeya, datanglah murid spiritual beliau yaitu Ida Hyang Mpu Siddhimantra bertapa di puncak Gunung Rinjani untuk melanjutkan tugas Ida Maharsi Markandeya. Jadi di atas puncak Gunung Rinjani secara garis besar terdapat tiga Ida Betara Lingsir yang menjadi pengayom dan penjaga kesucian Gunung Rinjani yaitu : Ida Hyang Lingsir Maharsi Sukma Jati yang merupakan penunggalan dari Ida Maharsi Markandeya, Ida Hyang Betari Lingsir Ambun Jagat yang merupakan penunggalan dari Ida Hyang Betari Dewi Anjani dan Ida Hyang Mpu Siddhimantra sebagai pelaksana teknis dari Gunung Rinjani.
Setelah menyelesaikan penandaan dan pembangkitan sinar-sinar suci di pulau Lombok kemudian Ida Hyang Maharsi Markandeya berdasarkan petunjuk yang didapat di puncak Gunung Rinjani kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Tambora. Berdasarkan petunjuk yang didapat dari puncak Gunung Rinjani, meskipun Gunung Tambora tidak berbatasan langsung dengan pulau Bali, akan tetapi jika tidak ditandai dan dibangkitkan sinar sucinya maka Gunung tersebut suatu saat akan bisa menghancurkan pulau Bali, ini terbukti dengan terjadinya letusan paling dasyat di muka bumi ini yaitu pada tahun 1881 dimana efeknya ikut meluluhlantakan kehidupan di Bali.
Singkat cerita Ida Maharsi Markandeya sampai ke puncak Gunung Tambora, disini beliau bertemu dengan seorang wanita yang nantinya akan menjadi istri beliau di puncak Gunung Tambora beliau bernama Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan. Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan sepeninggal Ida Maharsi Markandeya dari puncak Gunung Tambora, kelak kemudian hari juga dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Bhujangga Suci. Atas tugas dari alam semesta untuk melindungi Gunung Tambora, sehingga ditempat ini Ida Maharsi Markandeya menanam pancer berupa manik-manik yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan Gunung Tambora. Atas tugas inilah alam semesta memberi gelar Ida Betara Lingsir Pancer Manik Tunggul kepada Ida Maharsi Markandeya sebagai Betara Lingsir Puncak Gunung Tambora.
Sama seperti Ida Hyang Mpu Siddimantra yang dipanggil oleh Guru Niskala Ida yaitu Ida Hyang Maharsi Markandeya untuk melanjutkan menjaga kesucian puncak-puncak di tanah Lombok maka sama seperti halnya Ida Hyang Maharsi Madura. Ida Maharsi Madura dipanggil ratusan tahun berikutnya ke tanah Lombok untuk melanjutkan tugas Maharsi Markandeya untuk menjaga kesucian pulau Lombok. Akan tetapi, Ida Maharsi Madura dalam kapasitas sebagai Ida Rsi Dalem Segara, hanya ditugaskan untuk menjaga kesucian laut Lombok. Titik yang dipilih oleh Ida Rsi Madura dalam mendoakan dan menjaga kesucian laut-laut di pulau Lombok, pada jaman sekarang ini dikenal dengan Pura Batu Bolong. Setelah jaman Ida Maharsi Markandeya, Ida Mpu Siddimantra dan Ida Maharsi Madura barulah ratusan berikutnya datang Ida Peranda Sakti Wawu Rauh atau yang nantinya di Lombok dikenal dengan Tuan Semeru. Ida Peranda Sakti tidak dapat napak puncak-puncak di Lombok, akan tetapi beliau napak di puncak Gunung Tambora. Disinilah beliau mendapat julukan Tuan Semeru. Mudah-mudahan dengan cerita di atas dapat membuka wawasan berpikir saudara-saudara di Bali akan jejak perjalanan para pendeta ditanah Lombok beserta dengan titik-titik napak tilasnya.


D.  Tempat Suci Peninggalan Rsi Markandeya

1.    Pura Besakih
Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula lokasi pura ini merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Hingga sekarang komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.
2.    Pura Pucak Cabang Dahat.
 Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.
3.    Pura Gunung Raung
Pura ini sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali.

4.    Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.




E. Sebagai tonggak leluhur Brahmana Waisnawa

Jejak Perjalanan Maha Rsi Markhandeya Perjalanan maharsi markhandeya di tanah bali dimulai dari :

1. Pura Rambut Siwi Lokasi Pertapaan Beliau ada di tebing depan pura melanting Tempat ida rsi membuat benteng/perlindungan bali terutama dalam Menyeleksi orang-orang yang hendak masuk ke bali (dari jawa). 

2. Pura Tledu Nginyah Tempat Ida Maha Rsi bertapa dan membuat pesraman yang pertama. Beliau mampir ke tempat ini karena tempat ini mirip sekali dengan pertapaan beliau di Gunung Raung Jawa yaitu Gumuk Kancil. Oleh karena itu tempat ini dikenal dengan Gumuk Kancil Bali. Ditempat ini beliau bertapa untuk memohon petunjuk ke arah mana beliau harus melanjutkan perjalanan supaya bisa menemukan pusat sinar di bali yang beliau lihat dari gunung raung jawa. Slama bertapa disini beliau juga membentuk pesraman untuk melatih dan meningkatkan kemampuan dari pengikut2 beliau yang akan diajak ngatur ayah di bali. Dari hasil bertapa disini kemudian beliau mendapat petunjuk untuk menyusuri aliran sungai sampai ke hulu dan ketemu suatu tempat yang tinggi (bukit). Bukit yang tinggi inilah yang kemudian hari dikenal dengan Gunung Bhujangga ( Puncak Sepang Bujak).

3. Gunung Bhujangga (Puncak Sepang Bujak) Di tempat inilah ida Maharsi Markhandeya bertapa supaya bisa menemukan pusat sinar di Bali yang beliu lihat dari Gunung Raung Jawa. Setelah bertapa sekian lama di Gunung Bhujangga barulah beliau mendapatkan petunjuk yang pasti ke arah mana beliau harus berjalan untuk dapat menemukan Pusat Sinar Suci di Bali. Jadi di gunung bhujangga inilah pertama kali beliau bisa melihat gambaran pulau bali seutuhnya melalui penglihatan mata batin. Oleh karena di tempat ini beliau pertama kali melihat bali seutuhnya maka tempat ini pulalah yang beliu pilih untuk melihat bali untuk terakhir kalinya dalam hidup beliau. Dengan kata lain, Puncak Gunung Bhujangga merupakan tempat Ida Maha Rsi Markhandeya Moksa. Beliau Moksa di atas Batu Hitam yang sampai saat sekarang ini masih ada di Puncak Gunung Bhujangga.

 4.  Dari Gunung Bhujangga banyak tempat yang beliau singgahi hingga beliau sampai di Gunung Agung. Tempat-tempat tersebut, antara lain : Puncak Manik Pulaki, disini berstana Ida Ratu Niang Bhujangga Suci dan Ida Ratu Niang Rsi Bhujangga Sakti. Ida Ratu Niang Bhujangga Suci ini lah yang mengajarkan tentang perdagangan di bali. Dan Beliau inilah guru dari Ratu Ayu Mas Melanting. Beliau ini juga yang memiliki Kendi Uang yang ada di Melanting yang pada prakteknya akan disebarkan ol Ratu Ayu Mas Melanting kpd para pedangan di bali. Ida Rt Niang Rsi Bhu jangga sakti, merupakan orang yang mengajarkan tentang pembuatan Baju dari kraras (daun pisang). Beliau berdua juga yang meletakkan Pondasi pembuatan banten di bali. Pura Penegil Dharma, pura ini disinggahi ida rsi pada putaran kedua per jalanan beliau mengelilingi bali. Di tempat ini ida rsi, diminta tinggal ol seorang anak keturunan bangsawan untuk mengajarkan tentang penget uan agama dan pengetahuan kehidupan. Dari tempat inilah cikal bakal ke rajaan pertama yang ada di Bali. #Pura Ponjok Batu, disini beliau hanya singgah sebentar. Perjalanan ida di tempat ini kemudian akan dikembangkan lebih lanjut oleh ida rsi Madura. Masih banyak tempat-tempat yang dikunjungi beliau dalam perjalanan Menuju Besakih yang kelak kemudian hari akan menjadi Pura-Pura Jagat di Bali

5. Gunung Agung (Pura Besakih) Di tempat ini maharsi markhandeya melakukan pertapaan untuk nindaklanjuti petunjuk yang beliau dapatkan di Gunung Raung Jawa tentang bagaimana membuka alam bali supaya dapat dibentuk dan di diami oleh manusia. hasil pertapaan beliau yang pertama beliau menda pat petunjuk untuk menanam panca datu di lereng gunung agung yang sekarang menjadi tempat pura pengubengan. Di tempat ini beliau pertam a kali melakukan perabasan hutan dan kemudian menanam panca datu. akan tetapi setelah hutan di rabas dan beliau menanam panca datu, yang terjadi adalah para pengikut beliau banyak yang sakit bahkan hingga me ninggal dunia. oleh karena itu beliau bertapa lagi dan mendapat petunjuk bahwa tempat yang beliau pilih untuk menanam panca datu salah.
                    Kemu dian beliau bertapa kembali untuk memohon dimana tempat yang tepat untuk menanam panca datu. akhirnya beliau mendapat petunjuk bahwa tempat itu ada di kaki gunung Agung yang nantinya di kenal dengan pura Basukihan. Akan tetapi karena proses penanaman panca datu ini memerlu kan banyak orang serta bahan2 yang utama. Maka sebelum menanam panca datu ini beliau memutuskan kembali pulang ke jawa untuk memper siapkan segala keperluan yang akan di pake untuk prosesi penanaman panca datu. Setelah segala keperluan yang dibutuhkan untuk prosesi pe nanaman panca datu ini selesai maka beliau kemudian kembali ke bali. akan tetapi sesampainya beliau dibali, beliau tidak langsung menanam panca datu, melainkan beliau mengundang dulu semua pendeta-pendeta yang beliau temui dan kenal dalam perjalanan beliau dari India sampai ke bali. Para undangan dari berbagai daerah dan negara ini kemudian beliau buatkan tempat-tempat peristrirahatan yang sekarang ini dikenal dengan pura-pura penyangga pura besakih seperti : pura batu madeg, kiduling kreteg, ulun kulkul, pura gelap, pura kongco dll. Pura-pura ini disamping sebagai tempat peristirahatan, lokasi-lokasi pura ini juga merupakan temp at menaruh segala kelengkapan prosesi penanaman panca datu di pura Basukihan. 
                Setelah semua undangan dan kelengkapan siap, barulah prosesi penanaman panca datu dilakukan di lokasi pura Basukihan Sekarang. 

6. Pura Basukihan Pura ini merupakan tempat ida maharsi markhandeya menanam panca batu yang berfungsi untuk membuka pertiwi tanah bali supaya bali bisa ditempat manusia. Penanaman panca datu pada waktu tersebut dilakuka n oleh ida rsi dengan didoakan oleh semua pendeta yang diundang untuk hadir ol ida dan disaksikan oleh seluruh penduduk bali pada waktu itu. Pura Basukihan inilah sebenarnya merupakan cikal bakal pura besakih yg sekarang, dengan kata lain pura basukihan inilah pura Besakih itu sendiri. 

7. Pura Besakih Pura Besakih terdiri dari 7 mandala utama. Penataran Agung ada di man dala ke-2. Pelinggih Kongco ada di Mandala ke-4. Lokasi pesraman agung besakih yang merupakan pesraman ida maharsi markhandeya berada di mandala ke-3, 4, 5. Makanya di mandala ke-5 ada pelinggih meru tumpa ng tiga yang merupakan tempat duduk ida maharsi markhandeya pada waktu memberikan tuntunan kepada para murid beliau di pesraman besa kih. Akan tetapi tempat pertapaan ida maharsi markhandeya berada di Mandala ke-7 yang merupakan mandala tertertinggi di Pura Besakih. Di mandala ini tidak terdapat pelinggih apapun cuma tanah. Pada waktu itu jikalau ida rsi selesai bertapa di puncak gunung agung maka beliau kemud ian akan turun ke pesraman besakih. akan tetapi sebelum beliau memberi kan tuntunan kepada para murid beliau, biasanya beliau bersemedi dulu sebentar di mandala ke-7 ini untuk meresapi petunjuk-petunjuk yang be liau dapat pada waktu bertapa di puncak gunung agung.

 8. Pura Puncak Sabang Daat (Puakan) Setelah ida selesai menanam panca datu di besakih serta telah merasa cukup pembekalan yang beliau berikan kepada para murid ida atau pengikut2 ida lewat Pesraman besakih.         
                Kemudian beliau memulai per jalanan beliau untuk benar-benar membuka pulau bali. Dimana sebe lum ida bisa membuka bali secara menyeluruh untuk bisa ditempati oleh para pengikut beliau maka beliau kemudian bertapa di suatu tem pat yang sekarang ini dikenal dengan Puakan. Jadi di tempat inilah Ida maharsi markhandeya ngeruak (mulai membuka hutan bali) tanah Bali supaya bisa ditempati dan berhasil membuka hutan bali unt uk di pake sawah, kebun, rumah dll. Setelah selesai bertapa kemudian beliau membuat pesraman agung yang mana tempatnya sekarang diken al dengan nama Pura Gunung Raung Bali.

9. Pura Gunung Raung (Bali) Di tempat ini Ida maharsi markhandeya mengada kan rapat dengan para pengikutnya terutama untuk menindaklanjuti proses pembukaan tanah bali secara menyeluruh. Di tempat ini pula beliau mulai mengklasifikasikan para pengikut beliau sesuai dengan keahlian masing-masing. Pemecahan pengikut sesuai dengan keahlian inilah yang kelak kemudian hari di bali dikenal dengan sebutan para bhujangga, pasek , pande, dukuh dll. Dan inilah yang menjadi cikal bakal orang bali mule (bali aga). Sehingga dengan ini bagi siapapun dijagat bali kehilangan kawitan maka mereka bisa tangkil ke Pura Gunung Raung dan Puncak Sabang Daat, karena di tempat inilah pertama kali ida maharsi markhandeya mengklasifikasikan para peng ikut beliau (orang bali mule/bali aga) menjadi klan-klan yang di bali sekarang terkenal dengan bhujangga, pasek, pande, dukuh. Setelah semua persiapan cukup maka para pengikut beliau di pecah dan disebar ke seluruh wilayah bali disesuaikan dengan keahlian. Tempat-tempat yang menjadi pemukiman orang bali mula ini biasany Dekat dengan daerah pegunungan dan dekat dengan sumber mata air. Maka berkembanglam peradaban manusia di bali. Dimulai dari Batur, Tamblingan, beratan, buyan dll.

10. Pura-Pura di seputaran Payangan dan Ubud Setelah selesai mengajarkan cara bercocok tanam, cara hidup berso Sialisasi, cara bertahan hidup dll kemudian ida maharsi makhandeya Melanjutkan perjalanan ida di seputaran daerah yang sekarang di Kenal dengan payangan, ubud dan seputarannya. Diseputaran tempat Ini beliau membuat pura-pura berikut ini :
Pura Campuhan Ubud, Pura Dalem Pingit, Pura Puncak Payogan, Pura Dalem Suargan, Pura Murwa Bumi, Pura Gunung Lebah 

11. Pura-Pura di seputaran Batur Setelah memecah pengikut-pengikut beliau ke seluruh pelosok wil Ayah bali kemudian ida maharsi markhandeya melanjutkan perjalan An ida ke daerah batur. Jejak langkah maharsi markhandia di batur Dapat ditemukan di pura-pura Berikut ini :  Pura Dalem Balingkang Di Komplek pura dalem balingkang ini terdapat salah satu pura Yang bernama pura bhujangga. Sementara di pura penataran Agung dalem balingkang meskipun tidak ada pelinggih bhujangga Akan tetapi yang berstana disana adalah ratu gede bhujangga lingsir. Pura Ulun Danu Songan (Padma tiga) Di pura ini meskipun tidak terdapat tulisan pura atau pelinggih ida Bhujangga akan tetapi dari bentuk bangunan yaitu padma tiga seba Gai simbol pemujaan tri murti yang diajarkan oleh ida maharsi mar Kandia dibali maka pura ini merupakan salah satu peninggalan ida Rsi.  Pura Air Hawang (Dibawah Puncah Gunung Abang)
                 Sebagaimana yang tercantum dalam lontar batur kelawasan petak Dinyatakan bahwa silsilah bhujangga di bali dimulai dari batur. Te Patnya di gunung abang sebagai stana Hyang Sunia Tawang. Akan Tetapi sangat ironi sekali karena hampir sebagian besar warga bhu Jangga di bali tidak tahu akan pura ini. Pada saat letusan gunug ba Tur yang kesekian, pura ini terkena dampaknya sehingga kemudian Para semeton bhujangga yang ada ditempat ini kemudian mengung Si ke atas (kalanganyar). Karena lama tidak bisa kembali ke bawah Maka mereka membuat pengayatan ke pura air hawang dan gunung Abang, dimana pura ini yang sekarang terkenal dengan nama pura Tuluk Biyu.  Pura Tuluk Biyu Batur Sebagaimana telah diceritakan di atas, pura ini dibuat sebagai pemu Jaan betara di gunung abang. Di dalam pura ini terdapat pelinggih Yang sangat dipingitkan oleh para pengempon pura yaitu berupa 2 buah Meru tumpang tiga yang merupakan stana dari ida ratu Bhujangga sakti dan ida ratu bhujangga luwih.  Pura Jati Pura Jati batur merupakan pura yang paling disakralkan oleh masya Rakat batur. Bahkan ada kepercayaan tidak tertulis yang menyata Kan bahwa tirta pura jati merupakan tirta tersuci di dunia. Di pura Ini di puja pelinggih utama berupa meru tumpang tiga yang merupa Kan stana dari ida ratu bhujangga sakti. Dalam beberapa lontar di nyatakan bahwa ida yang berstana di pura ini adalah ida rsi sunia hening yang merupakan orang tua dari mpu kuturan dan mpu bera dah (untuk cerita mpu kuturan dan mpu beradah sebagai rsi bhujang ga akan penulis ceritakan di lain kesempatan). Pura Tampurhyang Jikalau kita naik ke gunung batur atau kita melihat gunung batur dr Jalan raya kintamani atau jalan raya batur-singaraja maka di sekian Ratus hektar hamparan bebatuan hitam bekas larva gunung batur Yang berada di kaki gunung batur dan sekitarnya kita akan melihat Keajaiban dimana diantara sekian ribu hektar hamparan hitam Kita akan melihat sekitar 500 m2 hutan hijau. Tempat inilah yg Disebut dengan tampurhyang yang merupakan lokasi pura batur Yang pertama. Dari 26 kali letusan gunung batur, sekalipun tem Pat ini tidak pernah kena larva (sungguh suatu keajaiban). Padahal Tempat ini tepat berada di barat laut kaki gunung batur. Ditempat Ini tidak ada pura akan tetapi inilah titik pusat Waisnawa di batur. Setelah gunung batur meletus yg kesekian kali, akhirnya para Penduduk desa batur kuno mengungsi ke atas. Karena desa mereka Yang lama tidak bisa ditempati lagi akhirnya mereka membuat per Mukiman yang baru yang sekarang ini dikenal dengan lokasi pura Batur yang baru yaitu di kalanganyar.
       Puru Ulun Danu Batur (kalanganyar) Pura ini terletak di pinggir jalan raya Bangli-Singaraja. Lokasi pura Ini bersebelahan dengan Pura Tuluk Biyu Batur. Di tempat ini di Puja ida sesuhunan hyang betari sakti dewi danu. Pura ini terbagi Menjadi beberapa kompleks pura, dimana di sebelah kanan (selatan ) penatara utama terdapat kompleks pura yang mana salah satu pe Linggih utamanya adalah meru tumpang tiga sebagai stana ida ratu Bhujangga Sakti. # Pura Bukit Mentik Pura Bukit Mentik merupakan salah satu pura yang catur loka pala Gunung batur dan danu batur. Di tempat ini dipuja ida ratu ayu Sembah suhun. Di Natar utama pura ini, di bagian gunung rata yg Paling tinggi terdapat komplek pura, yang mana pelinggih utama Nya berupa meru tumpang tiga sebagai stana ida Sanghyang Bhujangga Sakti. Pura pucak penulisan/ Pucak Panarajon Pura ini merupakan pura pemujaan raja-raja waisnawa di bali. Di Pura ini terdapat komplek pura yang dinamakan pura Bhujangga  Pura Puncak Bukit Indrakila di pura ini terdapat 2 meru tumpang dua berhadap-hadapan dimana disana tertulis nama pelinggih dalam aksara bali yang jika diterjemah kan menjadi Pelinggih Bhujangga. Akan tetapi begitu ditanya kepada para pemangku disana mereka bilang mereka tidak tahu siapa yang berstana disana. Sangat ironi sekali. bagaimana jika suatu saat plang nama pelinggih ini tintanya kabur. Maka akan kabur lagi jejak perjalanan ida betara rsi yang sekaligus akan menambah daftar beban para saudara bhujangga yang ada kaitan dengan pura ini. mudah2an setelah membaca tulisan ini ada saudara yang terketuk untuk hadir disana.  Pura Puncak Bukit Sinunggal pura bukit sinunggal adalah pura stana Ida Betara Rsi Manik Asta Gina. Beliau adalah satu rsi bhujangga yang berbuat di bali. Beliau bertugas memegang Cupu Manik Asta Gina. Dengan kata lain beliau bertugas memegang harta berana jagat. Disinilah sepatutnya para keluarga bhujangga memohon / berdoa supaya diberi kelancaran dan kemudahan dalam mencari rejeki di bali. SEJARAH PURA RAMBUT SIWI Cerita ini dimulai ketika ida maharsi markandia bertapa di gunung raung jawa. Pada waktu beliau bertapa digunung raung jawa, beliau melihat sinar suci yang berasal dari suatu daerah (yang nantinya dikenal dengan bali). Singkat cerita, sesuai dengan petunjuk maka kemudian beliau menelusuri ke tempat sinar itu muncul. Kemudian berangkatlah beliau menuju ke bali. Perjalanan pertama beliau dari jawa menuju bali adalah masuk lewat pantai (yang sekarang menjadi lokasi pura rambut siwi). Sesampainya ditempat ini kemudian beliau beristirahat beberapa hari sambil beliau mencari petunjuk kearah mana beliau harus berjalan. Selama beristirahat di tempat ini, beliau senang duduk di sebuah tebing yang agak menjorok ke laut. Kenapa beliau senang duduk di tempat ini karena dari tempat ini beliau bisa mengamati keseluruhan hamparan pesisir pantai barat bali. Dari tempat ini akan bisa dilihat jika ada perahu atau orang yang mau masuk ke bali lewat pantai bali barat. Selama bertapa beberapa pekan di lokasi tebing ini (posisi tebing ini sekarang ada di tebing depan pura melanting yang ada dikomplek pura rambut siwi), beliau mendapat petunjuk dari sanghyang jagatnata (alam semesta) tentang pulau bali. Isi petunjuknya adalah pulau bali merupakan pulau yang sangat suci tempat stana para dewa-dewi, hal inilah yang menyebabkan pulau ini susah bisa dimasuki/didiami oleh manusia, oleh karena ida maharsi markhandia telah diundang sebagai orang pertama yang diijinkan masuk kebali untuk menata pulau bali, maka untuk melindungi pulau bali dari orang-orang yang mencoba mengikuti perjalanan ida maharsi markandia, maka sanghyang jagatnata(alam semesta) menitahkan ida rsi untuk membuat pelindung/benteng dipantai bali barat sehingga hanya orang-orang yang mendapatkan izin dari alam bali saja yang akan bisa masuk ke bali. Kemudian ida rsi bertapa di tebing ini memuja dewa wisnu dan dewa baruna yang menguasai lautan.
                  Karena ketulusan dan ketekunan tapa beliau akhirnya doa ida rsi markandea dikabulkan oleh para dewa yang berstana dilautan. Sekonyong-konyong, disepanjang tengah laut barat bali kemudian muncul jaring-jaring seperti jaring net untuk bola voli yang bersinar seperti nyala lidah api. Jaring-jaring ini terbuat dari rumput laut (dibali dikenal dengan bulung rambut) yang dijalin/dirangkai seperti jaring. Jaring ini berfungsi sebagai filter untuk orang yang akan masuk ke bali. Jika orang pantas masuk ke bali maka jaring net ini akan turun ke laut sehingga orang bisa masuk ke bali. Jika orang tidak pantas masuk ke bali maka jaring ini akan naik ke atas sehingga akan terjadi fenomena dilautan sehingga orang/perahu yang mencoba masuk tidak akan bisa menyeberang. Fenomena inilah yang kemudian membuat ida rsi markhandia menamakan tempat ini sebagai Rambut Siwi yang artinya jalinan/untaian rumput laut yang berbentuk seperti rambut. Karena kekuatan tapa dalam melindungi laut barat bali inilah maka ida maharsi markandia kemudian diberi gelar Sanghyang Baruna Gni. Dan laut dipantai bali barat diberikan nama Dalem Segara Gni. Saya bercerita ini bukanlah suatu karangan akan tetapi kisah nyata. Jika ada cerita tentang perjalanan ida peranda sakti wawu rauh terkait dengan rambut siwi, itu tidak lebih seperti orang jaman sekarang yang melakukan tirta yatra ke suatu pura. Dan sesuai dengan babad dwijendra tattwa yang mengisahkan perjalanan peranda sakti wawu rauh, di dalam babad itu jelas diceritakan bahwa ketika peranda sakti wawu rauh sampai ke lokasi pura rambut siwi sekarang, saat itu sudah ada pura disana itulah pura peninggalan ida maharsi markhandia. Mudah-mudahan dengan cerita ini para semeton warga bhujangga waisnawa tidak akan lewat begitu saja ketika melewati pura rambut siwi. PURA TLEDU NGINYAH Setelah selesai dengan tugasnya untuk membentengi/ membuat perlindungan di pintu masuk bali barat (sepanjangan pantai bali barat) di pura rambut siwi, kemudian ida rsi markhandia melanjutkan perjalanan kea rah timur.
                      Singkat cerita sampailah beliau kesuatu tempat yang strukur geografis tempatnya sangat mirip dengan lokasi pertapaan beliau di gunung raung jawa yang sekarang ini dikenal dengan Gumuk Kancil (gunung Kecil). Tempat ini zaman sekarang dikenal dengan Gumbrih. Tempat yang mirip dengan gumuk kancil jawa itu sekarang dikenal dengan tledu nginyah. Tledu nginyah adalah suatu tempat dengan struktur tanah yang seperti bukit kecil dimana ditempat ini pada zaman dahulu banyak didiami oleh hewan kalajengking (tledu). Sesampainya diitempat ini ida maharsi markhandia teringat dengan tempat pertapaan beliau dijawa, sehingga kemudian ida beristirahat dan bertapa dipuncak bukit kecil ini untuk memohon petunjuk kemana beliau harus melanjutkan perjalanan. Selama berdiam ditempat ini ida maharsi markhandia mengambil seorang istri yang nantinya akan dikenal dengan I ratu niang bhujangga ratih / ida ratu niang bhujangga sakti yang berstana di pura beji pinggir sungai. Dari istrinya ini beliau memiliki 2 anak perempuan. Wanita yang lebih tua nanti akan dikenal dengan ida rsi kania widya padmi yang berstana di pura bhujangga sakti, bunut bolong. Anak yang bungsu dikenal dengan Ratu Ayu Pasupati yang berstana dipura segara (yang sementara ini dikenal dengan pura tledu nginyah yang berlokasi di pinggir laut). Selama tinggal di tledu nginyah ini, ida maharsi markhandia membangun sebuah pesraman dimana lokasi pesraman di bagi menjadi 2 tempat. Tempat yang pertama adalah di lokasi pura segara yang ada dipinggir pantai yang dinamakan dengan pesraman agung. Fungsi tempat ini adalah sebagai tempat penyeleksian awal bagi orang-orang yang mau menjadi murid ida rsi. Di tempat ini beliau mengajarkan tentang ilmu agama, ilmu kanuragan serta ilmu-ilmu kesaktian lainnya. Jika murid-murid bisa lulus menuntut ilmu dari pesraman agung ini maka kemudian para murid yang lulus ini akan dikirim ke tempat pesraman berikutnya yaitu yang disebut dengan pesraman tledu nginyah. Untuk bisa menjangkau tempat ini maka para murid yang telah lulus akan disuruh berjalan menelusuri pinggiran sungai, sampai akhirnya sampai dilokasi batu besar yang ada lobang seperti ketu. Tempat ini sekarang dikenal dengan beji pura tledu nginyah. Sebelum para murid menghadap ida rsi markhandia di peyogan tledu nginyah maka sesampainya dilokasi beji ini para murid terlebih dahulu akan membersihkan diri/melukat. Setelah bersih barulah beliau menghadap ke ida rsi di peyogan tledu nginyah. Peyogan tledu nginyah ini merupakan tempat ida rsi markhandia menyempurnakan pelajaran dan sekaligus memberikan cap kelulusan kepada para murid-murid beliau di seputaran daerah yang sekarang dikenal dengan jembrana. Di tempat ini juga beliau pada perjalanan kedua beliau kebali, dipakai sebagai tempat rapat/ bertemu dengan para pendeta yang sudah beliau sebar pada waktu perjalanan pertama ke bali. Setelah sekian lama tinggal di tledu nginyah ida rsi markhandea belum mendapat petunjuk yang jelas mau ke arah mana beliau akan meneruskan perjalanan.
                 Selama di tledu nginyah beliau hanya mendapatkan petunjuk yang isinya seperti berikut : Jika kamu ingin melihat daerah bali dengan lebih jelas maka naiklah kamu ke puncak bukit yang ada di hulu sungai di bawah ini. Dengan mengikuti petunjuk ini maka kemudian ida maharsi markhandia melanjutkan perjalanan menyusuri pinggiran sungai sampai ke hulu. Sesampainya dihulu sungai kemudian beliau melihat sebuah bukit. Bukit inilah yang jaman sekarang dikenal dengan Gunung Bhujangga yang terletak diperbatasan antara Negara dan buleleng, tepatnya di daerah sepang buleleng. Di tempat inilah kemudian ida rsi markhandia bersemedi. Dari hasil semedi beliau ditempat ini, barulah ida bisa melihat gambaran pulau bali secara keseluruhan lewat alam niskala. Dari tempat inilah ida maharsi bisa melihat lokasi munculnya sinar besar yang mengundang beliau datang kebali. Dimana lokasi sinar itu adalah taro. 
                   Jadi gunung bhujangga inilah sebenarnya yang merupakan tempat paling awal ida rsi markhandia memulai perjalanan beliau membuka pulau bali. Karena di gunung bhujangga ini beliau mengawali pembukaan pulau bali maka di tempat ini pulalah beliau berpulang ke alam sana atau moksa. Jadi gunung bhujangga merupakan pertemuan tempat awal dan akhir kehidupan ida maharsi markhandia di Bali. 
SUMBER : GURU MADE DWIJENDRASULASTRA